Berita tentang gizi buruk kembali merebak ditayangkan di
berbagai media elektronik televisi, baik TV pemerintah maupun
swasta serta terbitan media cetak berbagai harian baik lokal maupun
nasional.
Memang tragis, tercengang, trenyuh, sedih seakan tidak percaya
melihat dan membaca berita tersebut karena hampir semua wilayah di
negeri tercinta ini mempunyai anak balita yang menderita gizi
buruk. Akar persoalannya membentang dari masalah ekonomi, rendahnya
tingkat pendidikan, pola asuh, life style, hingga sulitnya akses kesehatan sehubungan dengan lokasi tempat tinggal penduduk yang terpencil dan sulit dijangkau.
Apakah anak balita sehat atau kurang gizi secara sederhana dapat
diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut umur atau
berat badan menurut tinggi, apabila sesuai dengan standar anak disebut Gizi Baik. Kalau sedikit dibawah standar disebut Gizi Kurang, sedangkan jika jauh di bawah standar disebut Gizi Buruk. Bila
gizi buruk disertai dengan tanda-tanda klinis seperti wajah sangat
kurus, muka seperti orang tua, perut cekung, kulit keriput disebut Marasmus, dan bila terjadi oedema terutama pada kaki, wajah membulat dan sembab, kulit sekujur tubuh kering maka keadaan ini disebut Kwashiorkor. Marasmus dan Kwashiorkor atau Marasmus Kwashiorkor dikenal di masyarakat sebagai ”busung lapar”.
Arti gizi buruk
Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh
kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Dunia pers lebih suka pakai
istilah “busung lapar”, meskipun anak yang gizi buruk belum tentu
kelaparan. Yang tepat sebenarnya kelaparan tidak kentara (“hidden
hunger”), karena mereka hanya kenyang karbohidrat, tetapi “lapar” banyak
zat gizi lainnya. Gizi buruk adalah bentuk terparah (akut) dari proses
terjadinya kekurangan gizi.
Anak balita sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari pertambahan
berat badannya setiap bulan sampai usia minimal dua tahun
(baduta). Apabila pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur
menurut standar WHO,
dia bergizi baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut bergizi kurang
yang bersifat kronis. Apabila jauh di bawah standar dikatakan bergizi
buruk. Jadi istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi
tingkat berat atau akut.
Kelompok rawan
Kekurangan gizi ini dapat terjadi mulai dari tingkat ringan sampai
tingkat berat dan terjadi secara perlahan-lahan dalam kurun waktu yang
cukup lama. Anak yang kurang gizi akan menurun daya tahan tubuhnya,
sehingga mudah terkena penyakit infeksi. Sebaliknya, anak yang menderita
penyakit infeksi akan mengalami gangguan nafsu makan dan penyerapan
zat-zat gizi sehingga menyebabkan kurang gizi. Anak yang sering terkena
infeksi dan gizi kurang akan mengalami gangguan tumbuh kembang yang akan
mempengaruhi tingkat kesehatan, kecerdasan dan produktifitas di masa
dewasa. Jika pada suatu wilayah terdapat satu atau beberapa balita
dengan malnutrisi berat atau gizi buruk, maka kemungkinan besar akan
banyak terdapat malnutrisi berat pada komunitas tersebut (WHO, 2000).
Hal ini perlu diwaspadai oleh berbagai pihak, karena timbulnya
masalah gizi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan baik
secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, masalah gizi
disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama dan
anak menderita penyakit infeksi. Pada anak yang sakit, asupan zat gizi
tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh secara optimal karena adanya
gangguan penyerapan akibat penyakit infeksi. Sedangkan secara tidak
langsung, gizi buruk dapat terjadi akibat tidak cukupmya persediaan
pangan di tingkat rumah tangga, pola asuh yang kurang memadai dan
sanitasi/kesehatan lingkungan yang kurang baik serta akses untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan juga terbatas.
Penanganan harus lebih serius
Melihat kenyataan diatas, maka sudah selayaknyalah bila kita membuka
mata dan telinga kita lebar-lebar, bagaimana cara menanggulangi gizi
buruk yang terjadi sepanjang masa ini. Sebagaimana kita ketahui bahwa
gizi buruk merupakan kejadian kronis dan bukan kejadian yang tiba-tiba.
Penanganan balita gizi buruk di rumah sakit dan Puskesmas bukan
satu-satunya jalan keluar dalam mencegah dan menangani gizi buruk ini.
Apakah ada jaminan anak yang sudah keluar dari perawatan rumah sakit dan
Puskesmas tidak akan jatuh ke kondisi gizi buruk lagi? Tentu saja tidak
ada jaminan, kecuali ketersediaan pangan di rumah tangga cukup dan
pengetahuan orangtua tentang masalah gizi memadai.
Untuk adanya jaminan tersebut sudah jelas ada sektor non-kesehatan
yang bertanggung jawab. Sekarang sudah saatnya masalah gizi anak balita
ini ditangani dengan lebih terintegrasi, melibatkan unsur masyarakat dan
organisasi setempat, dengan meningkatkan kesadaran pentingnya
penimbangan bulanan untuk mendeteksi kemungkinan adanya gangguan
pertumbuhan yang akan menjadi tanda awal terjadinya masalah gizi. Bila
hal ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka gangguan pertumbuhan dapat
diatasi lebih dini dan masalah gizi buruk tidak akan muncul.
Harus disadari bahwa anak balita merupakan calon generasi penerus
bangsa, yang akan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa di masa depan. Oleh
karenanya, penanggulangan masalah gizi pada umumnya dan masalah gizi
buruk khususnya, merupakan tanggung jawab bersama yang melibatkan banyak
sektor yang terkait dengan segi pelayanan kesehatan, pendidikan,
ekonomi, sosial, budaya, maupun pertanian yang menyangkut ketersediaan
pangan di tingkat rumah tangga. Sudah tentu pemerintah (Pusat maupun
Daerah) bertanggung jawab secara keseluruhan dalam upaya menyiapkan
seluruh sumberdaya yang ada, baik berupa sumberdaya alam, manusia,
maupun biaya yang dapat menanggulangi masalah tersebut lebih dini.
Pengerahan sumberdaya sektor kesehatan saja hanya akan menjadikan upaya
penanggulangan masalah seperti pemadam kebakaran, bukan mempersiapkan
agar tidak terjadi kebakaran.
Bila gizi buruk sudah menimpa pada anak-anak bangsa, apa yang mesti
kita perbuat untuk mereka ? Siapa yang mesti lebih bertanggung jawab?
Tentunya semua elemen bangsa ini yang bertanggung jawab.
0 komentar:
Posting Komentar